Tantangan dan Prospek Kemitraan Kebun Kelapa Sawit antara Petani dan Perusahaan

 Penulis : Oman Nurrohman (Praktisi Plasma dan Kemitraan)

  • Sejarah Kemitraan

Menjelang pergantian tahun 2023 kita dikejutkan dengan berita-berita yang kurang sedap terkait kemitraan, antara petani sekitar Perusahaan dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. Salah satunya konflik berdarah yang mengakibatkan pengrusakan asset Perusahaan serta hilangnya nyawa beberapa warga dalam menuntut haknya sebagai petani plasma. Baru baru ini kita disuguhkan suatu pemandangan warga yang beramai-ramai membawa untuk memanen kebun kelapa sawit milik Perusahaan.

gb 1 korban jiwa pada konflik di Kalteng       gb 2, aksi panen massal oleh warga

Fenomena di atas bukan sekali dua kali terjadi, namun menjadi langganan rutin tiap tahun yang menjadikan kemitraan kebun plasma / Masyarakat ini semakin jauh dari harapan para pemangku kebijakan negeri kita. Histori kemitraan Perkebunan kelapa sawit dengan Masyarakat di awali dengan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, maupun KKPA yang kesemuanya adalah merupakan kewajiban bagi Perusahaan Perkebunan yang memperoleh lahannya dari lahan APL hasil pembebasan lahan Masyarakat maupun hasil konversi dari Kawasan hutan produksi yang dalam hal ini menganut pola Inti Plasma.

Keempat pola tersebut masih memiliki celah peluang untuk diabaikan dikarenakan perjalanan kemitraan / kerjasamanya tidak termonitoring dengan baik, sehingga banyak Perusahaan yang sudah memasuki masa TM namun mitranya masih belum dibantu fasilitasi dalam Pembangunan kebunnya. Ada juga yang Pembangunan kebunnya tidak berdasarkan musyawarah atau proses PADIATAPA yang merupaka salah satu syarat penting dalam kemitraan, yaitu transparansi. Hal ini menjadi riak riak konflik yang berakar kuat di Masyarakat. Jika kewajiban Pembangunan kebun masyarakat sepuluh sampai dua puluh tahun silam masih “aman” untuk diabaikan maka bagaimana dengan tuntutan kewajiban yang melekat pada Perusahaan  Perkebunan kelapa sawit di masa masa sekarang?

  • Tantangan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat

Pada tahun 2005, program-program di atas yang digagas oleh pemerintah untuk melindungi hak-hak Masyarakat lokal / setempat kian meredup. Hal ini mengakibatkan semakin banyaknya pengabaian kewajiban fasilitasi kebun Masyarakat oleh Perusahaan Perkebunan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada Februari 2007 pemerintah memasukkan kewajiban Fasilitasi kebun Masyarakat seluas 20% dari areal yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan kedalam Permentan 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Perusahaan Perkebunan yang mengajukan permohonan IUP diwajibkan membangun kebun Masyarakat / plasma seluas 20% dari areal yang diusahakan. Namun peraturan ini masih terdapat kelemahan yaitu dari sisi batas waktu realisasinya sehingga masih menyisakan ruang diskusi antara pemerintah pusat maupun daerah termasuk pihak Perusahaan dan Masyarakat, kapan batas waktu pelaksanaan setelah IUP dan HGU diterbitkan oleh pemerintah. Permentan 98 Tahun 2013 merevisi Permentan 26 Tahun 2007 terkait definisi 20% fasilitasi kebun Masyarakat yang dalam hal ini patokannya adalah luas IUP, tidak lagi dari areal yang diusahakan sebagaimana termuat pada aturan sebelumnya.

Tercatat empat sampai lima kali perubahan perundang-undangan yang mengatur fasilitas Pembangunan kebun Masyarakat yang dijelaskan dalam bagan di bawah ini;

Permentan 18 Tahun 2021 memberikan solusi bagi Perusahaan Perkebunan yang memiliki keterbatasan lahan maupun tidak tersedianya lahan untuk dibangun kebun Masyarakat. Pola pola yang diatur di dalamnya dapat mengatasi alasan ketersediaan lahan dimana terdapat pola kemitraan lainnya yang menjadi alternatif untuk tetap melaksanakan kewajiban pemenuhan 20% kemitraan dari areal ijin Perusahaan.

Pada perjalanannya sampai akhir tahun 2023, bentuk kemitraan lainnya pun belum terselenggara akibat tapsiran yang berbeda antara pemerintah pusat, daerah, Perusahaan, maupun Masyarakat. Pada internal Perusahaan, masih belum ada pedoman teknis mengenai tata cara permohonan bentuk kemitraan lainnya sebagai pengganti kewajiban Pembangunan 20% kebun Masyarakat. Pemerintah Daerah dan Pusat pun belum memberikan gambaran yang utuh, masih gamang dengan rekomendasi yang dipilih untuk Perusahaan Perkebunan yang bersedia memenuhi kewajiban namun terkendala lahan yang terbatas. Sedangkan di Masyarakat, sudah mulai jenuh menunggu realisasi Pembangunan kebun Masyarakat yang menjadi haknya sehingga eskalasi konflik pun semakin tak terelakan antara Masyarakat dengan Perusahaan. Posisi serba salah ini berlangsung cukup lama dan hanya diselesaikan secara parsial tanpa menyentuh akar masalahnya. Akibatnya konflik-konflik baru bermunculan bak jamur di musim hujan. (bersambung ke artikel kedua)

2 Komentar

  1. Tulisan yang sangat bernas Pak Oman berdasarkan pengalaman-pengalaman bapak. Saran saya pak, tulisannya dibuatkan buku saja pak agar ada referensi bagi saya dan teman-teman lainnya yang menjadi praktisi kemitraan di lapangan atau pun para manajemen perkebunan kelapa sawit bagaimana menghadapi dinamika kemitraan saat ini. Semoga sehat dan sukses selalu pak dalam pekerjaan. Salam hormat saya buat bapak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *